Pernah nonton pemain yang kayaknya bisa main di mana aja, punya teknik bagus, tapi gak pernah benar-benar jadi bintang utama? Yup, itu Rafinha Alcântara. Lahir dari keluarga bola, besar di akademi legendaris La Masia, punya saudara juara Liga Champions dan ayah eks pemain Brasil. Tapi jalan karier Rafinha beda—lebih ke jalur underrated yang sering ditahan cedera.
Padahal, pas muda, banyak yang prediksi dia bakal jadi gelandang utama Barcelona. Tapi nyatanya, hidup gak selalu ngasih karpet merah ke semua pemain berbakat.

Keluarga Bola: Dari Mazinho, ke Thiago, ke Rafinha
Rafinha lahir di São Paulo, Brasil, 12 Februari 1993. Ayahnya, Mazinho, adalah pemain timnas Brasil yang ikut juara Piala Dunia 1994. Kakaknya, Thiago Alcântara, udah lo kenal—eks Barcelona, Bayern, Liverpool.
Rafinha dan Thiago tumbuh di Spanyol, dan dua-duanya masuk akademi Barcelona. Tapi meskipun gaya main mereka sama-sama elegan dan penuh teknik, pilihan nasional mereka beda: Thiago pilih Spanyol, Rafinha bela Brasil.
La Masia: Anak Emas Kedua yang Gak Kalah Bakat
Sebagai produk La Masia, Rafinha punya semua fondasi yang dibutuhkan: teknik tinggi, visi tajam, dan pemahaman taktik yang kuat. Dia bisa main sebagai gelandang tengah, sayap kanan, atau bahkan second striker. Gaya mainnya kombinasi antara kontrol ala Spanyol dan flair khas Brasil.
Debutnya bareng tim utama Barcelona datang 2011, tapi kayak banyak pemain muda Barca lainnya, dia lebih sering dipinjam dulu. Dan ternyata, di klub-klub pinjaman itu justru dia mulai nunjukin siapa dia sebenarnya.
Celta Vigo: Momen Pembuktian di Klub Menengah
Musim 2013–14, Rafinha dipinjamkan ke Celta Vigo. Di situ, dia main di bawah pelatih Luis Enrique, yang ngasih dia kebebasan lebih banyak buat eksplorasi. Hasilnya? Solid banget.
Dia cetak 4 gol dan 7 assist di La Liga, dan permainannya kelihatan matang. Bahkan dia terpilih sebagai salah satu pemain muda terbaik musim itu. Dribelnya halus, passing-nya kreatif, dan dia punya kecenderungan main vertikal yang jarang dimiliki lulusan La Masia.
Kembali ke Barcelona: Dapat Tempat, Tapi Gak Konsisten
Luis Enrique balik ke Barcelona dan langsung tarik Rafinha buat jadi bagian dari skuad utama musim 2014–15. Dan awalnya, semuanya kelihatan positif. Rafinha ikut dalam skuad yang juara treble (La Liga, Copa del Rey, Liga Champions).
Tapi karena persaingan ketat—ada Iniesta, Rakitić, Busquets, Neymar, dll—Rafinha cuma jadi rotasi. Dia sering main, tapi jarang dapet menit penuh. Dan yang makin bikin susah: cedera ACL parah yang dia alami musim 2015.
Itu bukan cedera sekali doang. Sejak saat itu, karier Rafinha dihantui masalah fisik. Berkali-kali comeback, berkali-kali cedera lagi. Dan itu bikin dia sulit dapet momentum.
Inter Milan, Celta (lagi), PSG: Sering Pindah, Gak Pernah Nempel
Setelah beberapa musim naik-turun di Barcelona, Rafinha sempat dipinjam ke Inter Milan musim 2018. Di sana, dia tampil bagus dan sempat bantu Inter lolos ke Liga Champions. Tapi sayangnya, Inter gak aktifkan opsi beli.
Dia balik ke Barca, tapi lagi-lagi cuma numpang lewat. Dipinjam ke Celta lagi, sebelum akhirnya pindah permanen ke Paris Saint-Germain (PSG) tahun 2020.
Di PSG, ekspektasi tinggi. Tapi realitanya: dia lebih sering jadi pelapis. Apalagi dengan nama-nama besar kayak Verratti, Paredes, dan Gueye di lini tengah. Rafinha dapet menit, tapi bukan jadi sosok sentral.
Gaya Main: Kreatif, Kalem, dan Multifungsi
Rafinha itu pemain yang gak menonjol secara fisik, tapi punya teknik elite. Sentuhan pertamanya bersih, decision-making-nya cepat, dan dia bisa ngatur tempo permainan. Dia juga punya naluri nyerang yang oke—bisa tusuk dari tengah, kasih through pass, atau finishing dari second line.
Dia bukan tipe gelandang bertahan, tapi juga gak murni playmaker. Justru itu kekuatan sekaligus kelemahannya: serba bisa, tapi gak punya satu identitas dominan.
Timnas Brasil: Momen Terbatas Tapi Penuh Arti
Rafinha pilih bela timnas Brasil, meskipun lahir dan tumbuh besar di Spanyol. Dia sempat main di level U-23, bahkan dapet medali emas Olimpiade 2016 bareng Neymar, Gabriel Jesus, dan kawan-kawan.
Tapi di level senior, caps-nya sangat terbatas. Gak sampai 5 kali. Soalnya persaingan di lini tengah Brasil emang gila: ada Casemiro, Paquetá, Arthur, dan Bruno Guimarães. Nama Rafinha tenggelam, apalagi karena cedera terus.
Masa Depan: Masih Ada Waktu, Tapi Waktu Gak Banyak
Sekarang Rafinha udah masuk usia 31. Masih bisa main 3–4 musim lagi di level tinggi kalau tubuhnya tahan. Tapi dengan riwayat cederanya, banyak klub yang ragu buat invest jangka panjang.
Opsi terbaik? Gabung ke klub La Liga papan tengah, atau liga lain yang lebih stabil fisiknya kayak Liga Portugal atau MLS. Rafinha masih punya kualitas buat bantu tim, asal gak dituntut main tiap pekan.
Kesimpulan: Rafinha Alcântara, Gelandang Berbakat yang Gak Pernah Dikasih Waktu Cukup Buat Bersinar
Rafinha bukan gagal. Dia cuma pemain yang terlalu sering berhenti di tengah jalan karena cedera. Talenta? Jelas ada. Teknik? Top. Tapi karier di sepak bola bukan cuma soal kualitas—konsistensi dan fisik juga penentu.
Dan sayangnya, Rafinha gak pernah punya semua itu dalam satu musim penuh.